Selasa, 23 Maret 2010

METODE PENGOLAHAN WARNA AIR

Abstrak

Warna didalam air terbagi menjadi dua ( yaitu : Warna semu (Apparent color), adalah warna yang disebabkan oleh partikel partikel penyebab kekeruhan (tanah, pasir dll.), partikel/dispersi halus besi dan mangan, partikel-partikel mikroorganisme (algae/lumut), warna yang berasal dari pemakaian zat warna oleh industri (tekstil, pabrik kertas, dll.), seperti bahan pencelup, cat, pewarna makanan dll. Warna sejati (true color) adalah warna yang yang berasal dari penguraian zat organik alami yaitu zat humus (asam humat dan asam fulfat), lignin, tanin, dan asam organik lainnya. Penghilangan warna secara teknik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah : Koagulasi – Flokulasi – Sedimentasi, Filtrasi, Oksidasi – Reduksi, Bioremoval, Terapan elektro, Teknologi Adsorpsi – Absorpsi dsb. Dengan metode elektrokoagulan asam humat dapat dihilangkan 78 – 98%. Dengan metode pertukaran ion menggunakan resin MIEXR dapat menghilangkan warna sejati air (asam humat dan fulfat) dari 109 PtCo menjadi 1 PtCo. Dengan mempertimbangkan sebagian besar pengolahan air di Indonesia masih menggunakan sistem konvensional. Cara pengolahan air secara konvensional /pengolahan lengkap (Koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, netralisasi dan desinfeksi) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama pembentuk warna semu sekitar 80%, effisiensi penghilangan warna akan lebih efektif jika dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon aktif, senyawa redoks, koagulan-flokulan aid, dsb.

LATAR BELAKANG

Semua zat yang ada didalam air bisa terdiri dari beberapa macam komponen misalnya organik atau anorganik. Komponen ini beraneka ragam termasuk partikel dari erosi tanah, maupun sisa tanaman, hidroksida logam hasil proses oksidasi, atau plankton, bakteri maupun virus, yang merupakan tantangan utama untuk proses pengolahan yaitu dapat merubah jenis dan komposisi zat-zat tersebut yang dilakukan dalam waktu yang cepat. Sangat sulit untuk menghilangkan algae dan bakteri dari dalam air karena ukuran maupun sifat-sifatnya yang spesifik menyulitkan dalam proses pemisahan. Di dalam air permukaan terdapat partikel-pertikel dengan ukuran yang berbeda. Klasifikasi yang dikenal adalah : molekul yang mempunyai ukuran diameter lebih kecil dari 1 nm. Koloid pada umumnya mempunyai ukuran antara 1 nm – 1 µm Zat-zat tersuspensi mempunyai ukuran lebih besar dari 1 µm. Contoh koloid yang biasa terdapat di dalam air permukaan adalah : zat humus (asam humus), tanah liat, silika dan virus. Sedangkan yang tergolong zat tersuspensi adalah bakteria, algae, lumpur, pasir, sisa berupa kotoran organik, Diameter partikel yang ada didalam air sangat bervariasi, hal ini menjadi dasar klasifikasi zat di dalam air.
Jangkauan ukuran zat di dalam air dan waktu sedimentasi untuk beberapa zat dengan berat jenis yang berbeda, yaitu waktu sedimentasi yang dibutuhkan untuk melewati jarak 1 meter oleh 2 (dua) berat jenis zat padat yang berbeda. Sebagai contoh berat jenis 2,6 kg/L berlaku untuk partikel silikat, berat jenis 1,1, kg/L berlaku untuk flok hidroksida. Dapat terlihat semua partikel yang berdiameter < 10 µm terutama warna, mengendap sangat lambat bila dibandingkan dengan flok yang berukuran antara 100 – 1000 µm yang mengendap jauh lebih mudah. Warna dapat dihilangkan dengan berbagai metode diantaranya adalah proses koagulasi – flokulasi, atau dengan reaksi pemecahan ikatan rangkap (proses “bleaching”) dengan klor/senyawa klor,ozon (O3), atau adsorpsi dengan adsorben (karbon aktif/charcoal, tanah liat ), bioremoval, dsb. TUJUAN KAJIAN Kajian ini merupakan tinjauan literatur dalam mendegradasi penyebab warna air yang umumnya sukar diolah. Tinjauan ini dibuat sebagai acuan dalam berbagai litbang terutama mengenai pengolahan air. TINJAUAN PUSTAKA 1. Warna Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Identitas suatu warna ditentukan panjang gelombang cahaya tersebut. Sebagai contoh warna biru memiliki panjang gelombang 460 nanometer. Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap mata manusia atau daerah tampak spektrum dari radiasi elektromagnetik berkisar antara 380-780 nanometer. Radiasi yang tersebar secara merata akan tampak sebagai cahaya putih dan yang akan terurai dalam warna – warna spektrum bias dengan adanya penyaringan oleh prisma atau kisi – kisi pelontaran (difraction grating) yang dipersepsikan sebagai sinar cosmik/foton (lembayung, indigo, biru, hijau, kuning, jingga, merah).

Hubungan antara warna yang terserap dengan warna tampak dijelaskan secara rinci oleh Mohler yang dapat disimpulkan bahwa tiap – tiap warna terletak pada daerah panjang gelombang yang sempit, dimana pasangan dari warna terserap dan warna tampak panjang gelombang yang sama atau disebut warna pelengkap/komplementer atau warna pengurangan/subtraksi.

Warna merupakan hasil dari suatu perangkat kompleks (dari) respon faali maupun psikologis terhadap panjang gelombang tampak, yang jatuh pada retina (selaput jala) mata. Penginderaan warna ditimbulkan oleh pelbagai proses fisis. Hitam dianggap sebagai ketidakhadiran seluruh jenis gelombang warna. Sementara putih dianggap sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi seimbang. Jika panjang gelombang dengan rentang (range) sempit jatuh pada retina akan diamati warna – warna individu.

Hubungan antara penyerapan cahaya dengan panjang gelombang dikemukakan dengan menggabungkan hukum Lambert dan Hukum Beer yang didukung oleh aturan Kubelka-Munk. Berkebalikan dengan teori warna, di dalam teori pigmen sensasi putih dianggap sebagai absennya seluruh pigmen.

Teori Brewster pertama kali dikemukakan pada tahun 1831. Teori ini menyederhanakan warna-warna yang ada di alam menjadi 4 kelompok warna, yaitu warna primer, sekunder, tersier, dan warna netral. Kelompok warna ini sering disusun dalam lingkaran warna brewster. Lingkaran warna brewster mampu menjelaskan teori kontras warna (komplementer), split komplementer, triad, dan tetrad.
2. Zat Warna

Pada tahun 1876 Witt menyatakan bahwa molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik yang tidak jenuh, kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat antara warna dengan serat. Secara lebih luas zat warna tersusun dari hidrokarbon tak jenuh, Chromogen, Auxocrome dan zat aditif (migration, levelling, wetting agent, dsb) .

Zat organik tak jenuh umumnya berasal dari senyawa aromatik dan derivatifnya (benzene, toluene, xilena, naftalena, antrasena, dsb.), Fenol dan derivatifnya (fenol, orto/meta/para kresol, dsb.), senyawa mengandung nitrogen (piridina, kinolina, korbazolum, dsb).

Chromogen adalah senyawa aromatik yang berisi Chromopores (Yunani :chroma “warna”; phoros, “mengemban”) yaitu gugus tak jenuh yang dapat menjalani transisi p ® p dan n ® p (teori eksitasi transisi elektron). Khromofor merupakan zat pemberi warna yang berasal daari radikal kimia, seperti ; Kelompok nitroso : -NO, Kelompok nitro : -NO2, Kelompok azo : -N=N, Kelompok ethyline : >C=C<, Kelompok carbonyl : >C=O, Kelompok carbon – nitrogen : >C=NH dan –CH=N-, Kelompok belerang : >C=S dan ->C-S-S-C<. Macam – macam zat warna dapat diperoleh dari penggabungan radikal kimia tersebut dengan senyawa kimia lain. Sebagai contoh kuning jeruk (orange) diperoleh dari radikal ethylene yang bergabung dengan senyawa lain membentuk Hydrokarbon dimethyl fulvene. Auxochrome, (Yunani ; auxanein, “meningkatkan”) yaitu gugus yang tidak dapat menjalani transisi p ® p tetapi dapat menjalani transisi elektron n. Auksokrom merupakan gugus yang dapat meningkatkan daya kerja khromofor sehingga optimal dalam pengikatan. Auksokrom terdiri dari golongan kation yaitu –NH2, -NH Me, – N Me2 seperti -+NMe2Cl-, golongan anion yaitu SO3H-, -OH, -COOH, seperti –O-; -SO3-, dsb. Auxochrome juga merupakan radikal yang memudahkan terjadinya pelarutan: -COOH atau –SO3H. dapat juga berupa kelompok pembentuk garam: – NH2 atau –OH. Kebanyakan zat organik berwarna adalah hibrida resonansi dari dua struktur atau lebih. Penggolongan zar warna dapat dikatagorikan bermacam – macam menurut parameter yang dijadikan rujukan, sebagai contoh penggolongan zat warna berdasarkan konstitusinya yaitu “Color Index” volume 3, dsb. Zat warna juga diperoleh dari senyawa anorganik dan dari mineral alam. Zat warna yang diperoleh dari senyawa anorganik dan dari mineral alam sering disebut dengan pigment (tahun 1935 mulai dikenal pigmen yang mempunyai kromofor). Beberapa contoh warna pigment yang berasal dari senyawa anorganik dan mineral alam adalah sebagai berikut : Warna putih : Titanium dioksida, Seng oksida, Seng sulfit, Timbal sulfide. Warna merah : Besi oksida, Kadmium merah, Timbal merah, Toners & lak. Warna hitam : Graphite, Carbon black, Lengas lampu, Magnetite black. Warna biru : Ultramine, Cobalt biru, Besi biru, Tembaga Pthalocyanine. Warna kuning : Seng kromat, Ferit kuning, Kadmium liyhopone, Ocher. Warna metalik : Aluminium, Debu seng, Serbuk Tembaga. Sedangkan pigmen dari senyawa organik misalnya ftalosianina, monoazo, diazo, antrakuinon, tioindigo, dsb. 3. Warna Air Air tidak menyerap semua gelombang sinar spektra matahari dengan sama kuatnya. Dari kedua ujung spektra sinar (sinar dan violet) terlihat bahwa sinar merah lebih banyak disebarkan (diffuns) sehingga oleh karenanya warna air laut semakin dalam selalu dimulai bening kemudian biru sampai biru kehijau – hijauan didalam air. Penyerapan sinar didalam air sesungguhnya dilakukan oleh partikel – partikel yang ada didalamya, seperti sediment, deditrus, binatang atau tumbuh – tumbuhan air. Makin banyak partikel didalam sistim air makin tinggi tingkat absorbsi. Karenanya didalam air dibandingkan dengan udara penyerapan sinar lebih tinggi dialam air. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyerapan didalam air sesungguhnya dipengaruhi sangat oleh turbulensinya. Dalam kondisi turbulensi tertentu maka transmisi sinar dalam air dapat dilihat. Masing – masing persentasi penyerapan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Area gelap merupakan jumlah absorbsi kumulatif oleh masing – masing komponen spektra, dinyatakan dalam sekian persen dari seluruh komponen sinar yang masuk dalam air. 2. Sinar ultra violet terserap 100% pada gelombang 300, yang makin mendekat 400 absorbansinya makin kurang (absorbansinya antara 60 – 100 %). 3. Sinar violet pada gelombang 400 terserap sekitar 60% dengan catatan minimal 20%. 4. Sedangkan sinar biru diserap sekitar 15 – 20%. Sinar hijau seperti halnya biru diserap dengan jumlah yang hampir sama. 5. Sinar kuning diserap antara 20 – 70%, sedangkan oranye diserap agak banyak lagi antara 70 – 90%. 6. Sinar infra merah daya penyerapannya adalah menyeluruh (100%). Perbedaan penyerapan panjang gelombang ini dapat digunakan sebagai petunjuk audiovisual terhadap suatu kedalaman perairan. Penyerapan sinar matahari dalam air yang paling bersih sedalam 6 – 8 meter hampir sama dengan penyerapan lewat atmosfir dan masing – masing tergantung pada garam – garam terlarut, dan benda benda tersuspensi. Air yang keruh akan meningkatkan difusi sinar karena banyaknya bahan – bahan yang memantulkan sinar. Sinar tampak atau foton yang mengenai partikel – partikel didalam air akan menimbulkan efek termoluminisen dan fluorosensi pada suatu konfigurasi elektron partikel sebagai akibat eksitasi dan resonansi sehingga akan memberikan warna – warna yang khas pada partikel – partikel dalam air dengan panjang gelombang tertentu. Warna didalam air terbagi menjadi dua (2) yaitu : 3.1 Warna sejati (true color) Warna yang yang berasal dari penguraian zat organik alami yaitu zat humus (asam humus dan asam flufik), lignin, dimana merupakan sekelompok senyawa yang mempunyai sifat-sifat yang mirip. Senyawa ini menyebabkan warna didalam air yang sukar dihilangkan terutama jika konsentrasinya tinggi dan memerlukan pengolahan dengan kondisi operasional yang khusus/berbeda dengan penghilangan warna semu. Karakteristik warna sejati pada air adalah: 1. Air berwarna kuning terang sampai coklat-merah 2. Air relatif jernih. 3. pH air relatif rendah , dibawah 6 (rata-rata 3 – 5) oleh karena itu air dengan pH < 4,5 tidak mengandung alkalinitas. Sifat-sifat zat humus yang terutama dan penting dalam pegolahan air dapat dilihat sebagai berikut: 1. Berat molekul adalah 800 – 50.000 2. Ukuran partikel 90% kurang dari 10 nm, partikel koloid. 3. Partikel warna terdiri dari zat humus yang secara dominan berukuran negatif 4. Sifat-sifat seperti ukuran partikel yang kecil dan mengandung muatan negatif yang kuat menentukan mekanisme penghilangan warna yang secara keseluruhan berbeda dari penghilangan kekeruhan. Karakteristik air berwarna dan sifat-sifat zat humus menyebabkan air berwarna jenis ini sukar untuk diolah. 3.2 Warna semu (Apparent color) Warna semu adalah warna yang disebabkan oleh : 1. Partikel partikel penyebab kekeruhan (tanah, pasir dll.) Zat ini lebih mudah dihilangkan dibandingkan dengan penyebab warna lainnya, biasanya didalam air berbentuk koloid. 2. Partikel/dispersi halus besi dan mangan Zat-zat ini pada konsentrasi yang sangat rendah, tidak dapat diterima didalam penyediaan air untuk perumahan maupun industri. Sedikit besi dan mangan dapat menyebabkan warna kecoklatan dalam air yang diproduksi. 3. Partikel-partikel mikroorganisme (algae/lumut) Warna didalam air yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti algae pembentuk warna (seperti blue – green algae), Trichodesmium erythraeum, Oscillatoria rubescens, golongan Cyanobacteria seperti Hammatoidea, Heterohormogonium, Albrightia, Scytonematopsis, Thalopophila, Myxocarcina dan Colteronem, golongan nitrat (nitrisomonas sp. ), bakteri besi (Crenothrix dan Sphaerotilus), bakteri belerang (Chromatium dan Thiobacillus). 4. Warna yang berasal dari pemakaian zat warna oleh industri (tekstil, pengrajin batik, pabrik kertas, dll.), seperti bahan pencelup, cat, pewarna makanan dll. Zat warna tekstil merupakan suatu senyawa organik yang akan memberikan nilai COD dan BOD. Sebagai contoh dari basil percobaan di laboratorium BBT, air limbah tekstil yang mengandung beberapa zat warna reaktif sebanyak 225 mg/L mempunyai COD 534 mg/L dan BOD 99 mg/L. Sampai saat ini warna air akibat limbah tekstil masih merupakan masalah yang belum terpecahkan sampai tuntas. Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara visuil warna dari sampel dengan larutan standard warna yang diketahui konsentrasinya. Kebanyakan metode yang dipakai pada pemeriksaan warna air di instalasi pengolahan air menggunakan metade standar warna Platina – Kobalt dengan satuan mg/L PtCo baik dilakukan dengan instrumen Colorimetri maupun yang lebih sensitif yaitu spektrofotometri. 4. Asam – asam Organik (Tanin, Lignin, Humat, Fulvat). Asam – asam ini umumnya banyak ditemui didaerah dengan struktur tanah sulfat masam atau bergambut. Air gambut/tanah sulfat masam mempunyai sifat-sifat kimia antara lain pH yang rendah; kadar Al, Fe, Mn, dan SO4 yang tinggi; salinitas yang tinggi; kadar hara P, Cu, Zn, dan B sebagai akibat adanya lapisan pirit (FeS2). Pirit bersifat labil dalam suasana aerob dan mudah teroksidasi yang memunculkan kemasaman tanah sampai mencapai pH 2-3. Oksidasi pirit berjalan beberapa tahap mencakup proses fisiko-kimia dan mikrobiologi. Oksidasi utama oleh oksigen secara perlahan yang menghasilkan Fe2+, SO42-, dan H+. Proses oksidasi ini dikatalisir oleh bakteri autotroph pada pH mendekati netral. Waktu paruh dari reaksi oksidasi oleh oksigen ini antara 20-1000 menit. Oksidasi pirit juga terjadi oleh Fe3+ sebagai oksidator. Proses oksidasi ini berlangsung sangat cepat bahkan lebih cepat dari reaksi oksidasi Fe2+ sendiri untuk menjadi Fe3+ warna endapan, warna larutan, pH larutan setelah pengenceran. Tanah gambut mengandung bahan-bahan anorganik dan bahan organik. Secara kimia, bahan-bahan organik dalam tanah diklasifikasikan menjadi 3 fraksi yaitu : (1) Humin, tidak larut dalam larutan asam maupun basa, (2) Asam humat, larut dalam larutan basa tetapi tidak larut dalam larutan asam (pH < 2), (3) Asam fulvat , larut dalam larutan asam maupun larutan basa. Tanah-tanah gambut umumnya mempunyai kapasitas tukar kation sangat tinggi yang disebabkan oleh muatan negatif yang berasal dari gugus karboksil dan fenol, miskin unsur hara makro P, K, Ca, dan Mg, dan unsur hara mikro Cu dan Zn. unsur Al dan Fe dapat menetralkan asam-asam organik beracun. Penetralan asam-asam organik beracun terjadi pada tanah masam (pH <5,5) melalui terbentuknya ikatan kompleks organo kation. Dari segi sifat kimia, gambut adalah: (1) air dari reaksi tanah tergolong sangat masam yang berasal dari berbagai asam organik yang terbentuk selama pelapukan; (2) kandungan hara makro dan mikro rendah; (3) kapasitas tukar kation yang tinggi, sedangkan kejenuhan basa rendah sehingga kation-kation Ca, Mg, dan K sukar tersedia bagi tanaman; (4) kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut yang menyebabkan unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn, dan Fe sukar tersedia bagi tanaman karena terikat dalam bentuk khelat; (5) kandungan asam-asam organik tanah yang tinggi yang berpengaruh langsung dan dapat meracuni tanaman, terutama asam fenolat. Kandungan mineral silikat, alumunium, dan mineral-mineral mengandung besi pada kebanyakan gambut sangat rendah. Asam organik adalah termasuk senyawa organik yang umumnya merupakan hasil dari kegiatan jasad hidup. Umumnya, di alam, ditemukan pada, di atas dan di dalam tanah. Bentuk senyawa organik terdiri dari senyawa yang belum terhumuskan dan telah terhumuskan. Senyawa organik yang belum terhumuskan misalnya karbohidrat, asam amino, protein, lemak, lignin, asam nukleat, pigment, hormon dan asam-asam organik.. Senyawa organic yang telah terhumuskan adalah asam humat (AH), asam fulfat (AF), dan turunan dari hidroksi bensoat dari asam humat. Asam organik yang belum terhumuskan terdiri dari asam alifatik sederhana, aromatik kompleks, dan asam heterosiklik. Asam organik yang terhumuskan adalah hasil sintesis ulang bahan organik yang belum terhumuskan oleh jasad renik di dalam tanah. Atas dasar kelarutan dalam larutan penyari, kelompok asam ini dibedakan menjadi asam fulfat (AF), asam humat (AH), asam hematomelanik, dan humin. Asam humat dan fulfat merupakan senyawa utama dalam bahan organic tanah, karena konsentrasinya di dalam tanah paling tinggi dibandingkan asam – asam yang belum terhumuskan. Beda yang tegas antara AF dan AH adalah pada kandungan Nitrogen dan kemasaman totalnya. Kandungan N pada AH lebih besar daripada AF, sedangkan kemasaman total AH lebih kecil daripada AF. Kemasaman ini berasal dari gugus karboksil, hidroksi fenolat, hidroksil alkoholat, C=O quinon, C=O karbonil, dan metoksi (O-CH3), yang diperkirakan sebagai loka pertukaran kation dan pengompleksan. Akibatnya kapasitas pertukaran kation dan pengkelatan AF melebihi AH. Dengan demikian AH dan AF merupakan asam organik yang penting dalam pelarutan mineral di samping asam organik yang belum terhumuskan. Sifat-sifat asam organik yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus karboksil (COO-) dan gugus hidroksil (OH-) fenolatnya serta tingkat disosiasinya. Jumlah gugus yang mengalami disosiasi asam ditentukan oleh jumlah gugus fungsionalnya dan pH lingkungannya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin dapat dilepas. Contohnya asam asetat hanya ada satu proton yang mungkin dapat dilepaskan, tetapi pada asam oksalat dan juga asam suksinat dan malat ada dua proton yang mungkin dapat dilepaskan, demikian pada asam sitrat mungkin dapat melepaskan tiga proton. Jumlah proton yang terlepas juga ditentukan oleh pH lingkungan. Pengaruh pH terhadap pelepasan proton dapat dilihat dari nilai pKa-nya. Contoh pKa asam asetat 4,76. pKa1 dan pKa2 asam oksalat masing-masing 1,25 dan 4,27 dan pKa1 , pKa2 dan pKa3 asam sitrat masing-masing 3,13, 4,76 dan 6,4. Nilai pKa adalah pH sistem larutan pada saat konsentrasi asam sama dengan konsentrasi konjugatnya (sisa asam). Apabila pH lingkungan di atas nilai pKa-nya maka proton dalam asam itu terlepas semua, sebaliknya bila pKa di bawah pKa-nya maka senyawa organik ini ada dalam bentuk asam dan tidak bermuatan. Pada pH <3 semua asam organik tertekan, sehingga asam tidak bermuatan. Pada pH antara 3 dan 9 merupakan daerah disosiasi gugus karboksil, dan pada pH >9 merupakan daerah disoisasi gugus OH fenolat. Molekul asam humat merupakan polielektrolit yang bermuatan negatip (anion) pada pH>3. Kelakuan ini menentukan kemampuan AH mengkelat logam. Pada pH>11 AH mampu mengkelat 2 x lebih banyak dari pada AH pada pH 7,0. Rendahnya pengkelatan pada pH 7 ini karena pada pH 7 gugus OH fenolat tidak sepenuhnya terprotonkan.

Asam humat merupakan bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti COOH, -OH fenolat maupun OH alkoholat sehingga asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonasi pada pH yang relatif tinggi. Deprotonasi gugus-gugus fungsional asam humat akan menurunkan kemampuan pembentukan ikatan hidrogen, baik antar molekul maupun sesama molekul dan meningkatkan jumlah muatan negatif gugus fungsional asam humat, sehingga akan meningkatkan gaya tolak menolak antar gugus dalam molekul asam humat. Kedua pengaruh tersebut akan menyebabkan permukaan partikel-partikel koloid asam humat bermuatan negatif dan menjadi lebih terbuka serta berbentuk linear dengan meningkatnya pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan asam humat adalah pH, yang lebih lanjut akan mempengaruhi disosiasi gugus yang bersifat asam pada asam humat. Disosiasi proton yang terjadi pada gugus fungsional yang bersifat asam pada asam humat dipengaruhi oleh: (1) atraksi elektrostatik atau tolakan muatan yang ada dalam molekul, (2) ikatan hidrogen sesama dan antar molekul. Dalam larutan (pH 3,5 – 9), asam humat membentuk sistem koloid polielektrolit linear yang bersifat fleksibel; sedangkan pada pH rendah asam humat berbentuk kaku (rigid) dan cenderung teragregasi membentuk suatu padatan makromolekul melalui ikatan hidrogen. Dengan meningkatnya pH akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah sehingga agregat akan terpisah satu sama lain. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh disosiasi gugus fungsional yang bersifat asam pada asam humat seperti -COOH. Umumnya gugus -COOH terdisosiasi pada pH sekitar 4-5, sedangkan gugus -OH fenolat atau OH alkoholat terdisosiasi pada pH sekitar 8-10.

Asam humat merupakan senyawa makromolekul yang diasumsikan sebagai asam lemah polibasis. Sifat keasaman asam humat ditentukan oleh gugus-gugus yang bersifat asam yang dimiliki oleh asam humat. Gugus-gugus tersebut antara lain, gugus -COOH, -OH fenolat, dan –OH alkoholat, yang memiliki kemampuan melepaskan ion H+ dalam air. Fenomena tersebut dapat dihubungkan dengan harga konstanta disosiasi beberapa senyawa asam organik yang mengandung gugus-gugus tersebut seperti yang tertera pada tabel dibawah ini :



Tabel. 2 Harga konstanta disosiasi beberapa asam organik.

Harga-harga konstanta disosiasi asam organik pada kisaran pH disosiasi yang sejalan dengan harga rata-rata pKa asam organik sederhana yang mengandung gugus COOH dapat dinyatakan bahwa gugus -COOH memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap sifat keasaman asam humat. Kelarutan asam humat batubara yang menunjukkan bahwa kelarutan maksimum asam humat terjadi pada pH 3-6 yaitu sekitar 80% dan sisa padatan mulai larut pada pH 8,5. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada pH yang relatif tinggi (konsentrasi H+ rendah) akan meningkatkan kensentrasi -COO- yang dapat berfungsi sebagai ligan pada asam humat. Walaupun pada pH yang relatif rendah, asam humat cenderung tidak berinteraksi dengan ion logam, akan tetapi sebagai padatan polielektrolit, asam humat memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi logam. Asam humat dengan ion logam dapat mengalami presipitasi. Tingkat flokulasi yang terjadi bergantung pada pH, sifat-sifat gugus fungsional pada asam humat yang dapat bertindak sebagai ligan dan sifat ion logam. Di samping memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai ligan dalam pembentukan kompleks dengan ion logam, asam humat juga memiliki kemampuan untuk mengalami koagulasi pada pH rendah. Seperti halnya ligan lain, kemampuan asam humat membentuk kompleks sangat bergantung pada pH larutan. Pada pH yang sangat rendah (pH < 3), asam humat cenderung berada dalam bentuk terprotonasi dengan gugus fungsional yang tidak bersifat sebagai ligan (-COOH2+). Pada pH yang relatif tinggi (7 < pH < 10), asam humat cenderung mengalami deprotonasi sehingga gugus fungsional utama cenderung berada dalam bentuk COO- yang dapat bertindak sebagai ligan dalam pembentukan kompleks. Mengingat asam humat merupakan makromolekul, maka pada pH yang relatif rendah (3 < pH < 4), asam humat cenderung mengalami koagulasi membentuk padatan polielektrolit yang tidak larut dalam air dan cenderung tidak berinteraksi dengan logam melalui pembentukan kompleks, sebagai padatan polielektrolit, asam humat memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi logam; sedangkan pada pH yang relatif tinggi (7 < pH < 10) asam humat akan cenderung larut dalam air, membentuk kompleks dengan logam yang larut dalam air, tingginya konsentrasi OH- dalam larutan memberi peluang untuk terbentuknya endapan hidroksida logam yang sukar larut dalam air. Lignin adalah polimer alami dan tergolong ke dalam senyawa rekalsitran karena tahan terhadap degradasi, atau tidak terdegradasi dengan cepat di lingkungan. Molekul lignin adalah senyawa polimer organik kompleks yang terdapat pada dinding sel tumbuhan dan berfungsi memberikan kekuatan pada tanaman. Lignin tersusun dari 3 jenis senyawa fenilpropanoid, yaitu: alkohol kumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Ketiganya tersusun secara random membentuk polimer lignin yang amorfus (tidak beraturan). monomer-monomer pembentuk lignin tersusun secara tidak beraturan sehingga sukar untuk didegradasi oleh mikroba, seperti halnya pada degradasi molekul selulosa dan kitin. Ketidakteraturan struktur lignin ini menyebabkan proses degradasi menjadi sangat kompleks, dan enzim-enzim yang berperan dalam degradasi lignin bekerja secara nonspesifik. Proses ini berlangsung melalui pembentukan radikal-radikal bebas yang dapat menyerang sejumlah besar molekul organik. Tanin adalah suatu molekul organik dengan berat 500 – 3000 yang merupakan golongan polyphenol yang terdiri dari hidroksil dan golongan lainnya seperti karboksilat dari suatu ikatan komplek yang kuat dari protein dan makromolekul lainnya. yang mampu mengendapkan alkaloid, gelatin, dan protein lainnya. Tanin umumnya terbagi menjadi tanin terhidrolisa dan terkondensasi. Inti dari tanin terhirolisa yaitu polykarbohidrat (biasanya D-glukosa) yang merupakan golongan hidroksil dari karbohidrat. Sebagian atau seluruhnya adalah ester dengan group phenol dan semisal asam gallat (dalam gallotanins) atau asam Ellagat (dalam Ellagotanins). Tanin terhidrolisat akan mudah terhidrolisa oleh asam lemah dan basa lemah. Salah satu contoh tannin terkondensasi adalah ptrothosianidins yaitu suatu polimer dengan 2 – 50 atau lebih gugus flavanoid berikatan karbon yang merupakan gugusan cincin heterosiklik turunan phenylalamin dan polyketide biosintesis dari hasil metabolisme alkaloid, terpena dan phenol organik suku tinggi. Tanin kondensat sukar larut dalam air. Tanin mempunyai sifat hampir sama dengan Lignin. SISTEM PENGOLAHAN Penghilangan warna secara teknik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah : 1. Koagulasi – Flokulasi – Sedimentasi. Teknik koagulasi dapat diterapkan dengan bantuan koagulan kimia seperti Polyelektrolit (misalnya : PAC,PAS, dll.), garam Aluminat (misalnya : Alum, Tawas, dll.), garam Fe, khitin, dsb. Untuk Flokulasi dapat digunakan polimer kationik, anionik, atau nonionik (misalnya : poliakrilik, poliakrilamide, dll). Sedangkan untuk pengendapan dapat digunakan teknologi baffle, settler, lumpur aktif, aerasi, dll. Untuk lakuan yang optimal teknik tersebut dapat digabung. 2. Filtrasi Teknik filtrasi dapat diterapkan dengan bantuan media filter seperti pasir (dolomit, diatomae, silika, antrasit, dll.), senyawa kimia/mineral (kapur, zeolit, karbon aktif, resin, ion exchange, dll.), membran (Osmosis, RO, dialisis, ultrafiltrasi, dll.), biofilter atau teknik filtrasi lainnya. 3. Oksidasi – Reduksi Teknik Redoks dapat diterapkan dengan bantuan inhibitor seperti senyawa khlor (Cl2, kaporit, Na-Hypo, Isosyanurat, dll.), non khlor (H2O2, O3, UV, KMnO4, garam sulfit, terusi, dll.), oksida asam basa (HCl, NaOH, H2SO4, garam kalsium, garam karbonat, garam Amonium, dll.) atau teknik redoks lainnya. 4. Bioremoval Bioremoval merupakan teknik pengolahan warna terutama yang disebakan oleh zat warna tekstil dan pigmen dengan menggunakan biomaterial. Biomaterial tersebut antara lain lumut, daun teh, sekam padi, dan sabut kelapa sawit, atau juga dari bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain. Bioremidiasi merupakan pengembangan dari teknik bioremoval dengan bantuan mikroorganisma seperti bakteri, kapang dan jamur baik aerobik maupun anaerobik atau dengan menggunakan alga, tanaman dan hewan. 5. Terapan elektro Lakuan pengolahan lainnya yaitu adalah Elektrolisa. Elektrolisa mampu memisahkan kation – anion dengan menggunakan efek beda potensial dari masing – masing muatan elektrolit. Apabila ion – ion ditangkap oleh membran selektif atau media lain maka disebut Elektrodialisis. 6. Teknologi Adsorpsi – Absorpsi Metode ini adalah salah satu metode yang potensial, karena prosesnya yang sederhana, dapat bekerja pada konsentrasi rendah, dapat di daur ulang, dan biaya yang dibutuhkan relatif murah. Media adsorben diantaranya adalah karbon aktif, zeolit, bioabsorpsi, dll. PEMBAHASAN PENGOLAHAN Cara pengolahan air secara konvensional /pengolahan lengkap (Koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, netralisasi dan desinfeksi) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama pembentuk warna semu yang berbentuk partikel-partikel tanah, besi dan mangan, didalam air dikenal dengan zat penyebab kekeruhan. Untuk penghilangan warna yang disebabkan oleh kelompok ini, seperti halnya penghilangan kekeruhan, biasanya tanpa proses pendahuluan seperti Preklorinasi dll., jadi dapat dilakukan dengan keadaan operasi yang normal. Sedangkan warna yang disebabkan oleh bahan organik alami yang tersebut diatas merupakan target utama dalam penghilangan warna pada pengolahan lengkap. Walaupun fraksi koloid warna dengan berat molekul yang kurang dari beberapa ratus, sulit untuk dihilangkan dan mungkin hanya dengan metode kimia dan penyerapan fisik menggunakan karbon aktif, ukuran berat molekul yang lebih dari 1000 dapat dihilangkan dengan koagulasi dan pengendapan dibawah kondisi yang dikontrol dengan baik. Untuk menghilangkan zat organik alami ada beberapa parameter/faktor yang merupakan kondisi operasi yang harus dilakukan menyertai proses koagulasi – flokulasi. Parameter tersebut beserta aspeknya terhadap proses koagulasi-flokulasi adalah : a. pH Beberapa sifat dari penghilangan warna dengan koagulasi – flokulasi menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi operasi yang berbeda dengan penghilangan kekeruhan. Dimana kekeruhan yang disebabkan tanah liat sangat baik dihilangkan dengan batas pH antara 6,0 sampai dengan 7,8; penghilangan warna umumnya dilakukan pada pH yang sedikit asam, lebih kecil dari 6, bahkan di beberapa daerah harus lebih kecil dari 5. Dari beberapa penelitian (untuk air gambut dari daerah Riau), efisiensi penghilangan warna akan baik bila pH lebih kecil dari 6 untuk setiap dosis koagulan alum sulfat yang digunakan. Walaupun demikian efisiensi penghilangan warna masih tetap tinggi dihasilkan pada koagulasi dengan pH sampai 7, tetapi dengan dosis alum sulfat yang lebih tinggi (sampai 100 mg/l), tetapi bila dosis alum sulfat lebih kecil (60 mg/L) pada pH yang sama (sampai dengan 7), terjadi penurunan efisiensi penghilangan warna secara drastis (sampai dengan 10 % ). Air setelah diolah dengan koagulasi – flokulasi untuk menghilangkan warna, pH harus ditetapkan diatas 6,5 (kurang dari 7,8) sebelum air disaring, karena pada pH tersebut bentuk aluminium tidak larut, jadi residu Al3+ terlarut didalam air dapat dihilangkan/dikurangi, pada pH > 7,8 bentuk Al adalah Al terlarut yaitu ion aluminat, [Al(H2O)2(OH)4]– Untuk hal ini dilakukan penambahan kapur sebelum proses filtrasi, lakukan pada air keluar dari unit sedimentasi dan biarkan aluminium berubah bentuk menjadi bentuk tidak larut/endapan supaya dapat dihilangkan dengan penyaringan.

Dengan cara ini residu Al3+ dapat ditekan sampai tingkat yang diijinkan. Setelah itu baru boleh dilakukan penambahan kembali kapur atau soda abu untuk proses Stabilisasi dengan harapan tidak akan terjadi perubahan alum terlarut menjadi alum endapan. Bila cara diatas tidak dilakukan, kemungkinan akan terjadi pengendapan alum di reservoir atau pada jaringan pipa distribusi, akibat penambahan kapur atau soda abu untuk proses stabilisasi dilakukan setelah air keluar dari filter, seperti halnya yang dilakukan pada pengolahan air yang biasa (tidak berwarna).

Proses koagulasi dengan koagulan lain seperti halnya garam Fe (III) yang mempunyai rentang pH lebih besar (4 – 9) dan penggunaan koagulan Polyaluminium chloride (PAC), tanpa penetapan pH pun proses koagulasi – flokulasi tetap dapat berlangsung, tetapi pembentukan flok tidak optimum, hanya flok-flok halus yang terbentuk, sehingga beban filter akan bertambah.

b. Alkalinitas

Jika kehadiran alkalinitas didalam air cukup, pada koagulasi dengan koagulan garam Al ion H+ yang terbentuk akan diambil dan terbentuk endapan [Al(H2O)3(OH)3] atau hanya Al(OH)3, dimana bentuk ini bermanfaat pada pertumbuhan flok (mekanisme adsorpsi). Adanya alkalinitas didalam air jika pH air > 4,5 , jadi jika pH air baku < 4,5 perlu penambahan bahan alkali (kapur atau soda abu). c. Dosis Koagulan Dosis kagulan yang diperlukan tergantung pada : · Konsetrasi warna. · Zeta potential (pengukuran mobilitas elektroforesa) juga merupakan faktor penting untuk menghilangkan warna secara efektif. Hal ini erat hubungannya dengan sisa konsentrasi warna. Pada pH yang optimum, sisa warna berkurang secara proporsional dengan penambahan dosis koagulan. · Jenis koagulan → koagulan yang dapat digunakan untuk menghilangkan warna Dari hasil penelitian, pada nilai pH yang sama, tetapi dosis koagulan bervariasi, menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis koagulan yang digunakan akan menghasilkan efisiensi penghilangan warna yang lebih besar pula, akan tetapi residu koagulan akan semakin besar. Dengan kata lain penggunaan dosis koagulan yang tinggi memerlukan pertimbangan yang matang. Pada kasus pembentukan flok yang lemah dengan menggunakan dosis tawas optimum untuk menghilangkan warna, polialumunium klorida (PAC) dapat digunakan sebagai koagulan pilihan selain tawas. Koagulasi dengan poli alumunium klorida dapat dengan mudah memproduksi flok yang kuat dalam air dengan jangkauan dosis yang lebih kecil dan rentang pH yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan kehadiran alkalinitas yang cukup. Yang perlu diperhatikan disini adalah penentuan dosis optimum koagulan untuk menghasilkan penghilangan warna yang baik, tetapi tidak menimbulkan masalah lain seperti kelebihan koagulan yang mempunyai efek yang merugikan, seperti residu Al3+ pada air hasil olahan, harus dibatasi sampai konsentrasi yang dijinkan, karena mempunyai aspek terhadap estetika (air keruh, keputih-putihan) dan aspek kesehatan. Demikian pula kelebihan koagulan garam besi akan meninggalkan sisa besi yang berpengaruh terhadap segi estetika ( air keruh dan berwarna semu). Menurut percobaan dengan jartest, pengaruh pH yang berarti pada penghilangan warna dari air ditunjukan pada gambar 7.a dimana dosis tawas dijaga agar tetap konstan 120 mg/l. Kurva diatas pada penghilangan warna menunjukkan rentang pH yang kecil/sempit antara 5,0 – 5,7, dimana penghilangan warna dapat dihasilkan dengan baik. Dengan bertambahnya pH, flok yang bermuatan negatif menjadi partikel bermuatan positif sebelum pH optimum. Kemudian kurvanya bergerak berbalik arah dan memotong garis elektrik netral pada hampir tepat ditengah zona pH optimum koagulasi untuk penghilangan warna. Warna dihilangkan dengan cepat sesuai dengan meningkatnya dosis air tawas. Penghilangan warna sampai menjelang batas sisa warna dicapai dengan 90 mg/L tawas, dan dosis ini hampir tepat serupa dengan angka dimana gerakan partikel memotong garis nol. Adakalanya proses koagulasi – flokulasi diambahkan zat pembantu. Yang dimaksud dengan zat pembantu disini adalah zat yang ditambahkan sebelum air diolah dengan proses koagulasi – flokulasi yang bertujuan untuk meningkatkan proses koagulasi – flokulasi. Zat ini perlu ditambahkan berhubungan dengan karakteristik dan sifat air berwarna alami yang telah dijelaskan sebelumnya. Zat tersebut adalah : (1) Zat alkali → digunakan untuk menambah alkalinitas air, hal ini perlu untuk mencapai kondisi pH dan keberadaan alkalinitas (karbonat, bikarbonat) untuk membantu proses pembentukan flok. Zat yang biasa digunakan adalah : · Kapur : CaO atau kapur hidrat : Ca(OH)2 · Soda abu : Na2CO3 Kadang-kadang kedua zat tersebut digunakan secara bersama-sama (efek kapasitas dapar/buffer capacity) untuk mempertahankan pH optimum pada proses koagulasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa kedua zat tersebut tidak dicampurkan kemudian dibubuhkan, akan tetapi masing-masing dibubuhkan secara berurutan, misalnya pembubuhan larutan kapur, kemudian diikuti oleh pembubuhan larutan soda abu. Dosis harus diteliti secara seksama, biasanya melalui percobaan Jar-test, yang penting mencapai pH optimum proses koagulasi untuk penghilangan warna. Pembubuhan larutan kapur bisa menggunakan bubur kapur (larutan kapur keruh), hal ini dilakukan selain kapur digunakan untuk menaikkan pH/alkalinitas juga partikel-partikel kapur untuk menaikkan kekeruhan air (sebagai zat pemberat) yang dibutuhkan untuk tumbukan antar partikel, dimana hal ini dibutuhkan pada proses flokulasi (pertumbuhan flok). Yang perlu diperhatikan adalah dosis pembubuhan bubur kapur akan lebih kecil dibandingkan jika menggunakan larutan kapur bening (supernatan), jadi dosis bubur akpur harus ditentukan melalui ujicoba. (2) Zat pemberat (weighing agent) → digunakan untuk menambah partikel – partikel untuk tumbukan pada pembentukan/pertumbuhan flok (membantu proses flokulasi). Zat ini biasanya digunakan untuk mengolah air berwarna alami, karena sifat air yang relatif jernih, jadi dengan kata lain zat ini ditambahkan untuk menaikkan kekeruhan air. Flok yang diproduksi dari air berwarna tinggi dengan menggunakan koagulan garam besi atau alumunium, ternyata terlalu ringan untuk siap diendapkan. Penambahan zat pemberat, yang mempunyai specific gravity (berat jenis) relatif besar, menghasilkan aksi pemberatan, dan flok mengendap dengan cepat. Bahan/zat pemberat yang biasa digunakan adalah : · Tanah liat (clay) → pada prakteknya, diketahui bahwa banyaknya tanah liat antara 10 – 50 mg/l dapat menghasilkan flok yang baik dan cepat mengendap, berpengaruh pada perbaikan penghilangan warna, dan memperbesar jangkauan pH yang diinginkan untuk koagulasi. Dosis yang tepat yang diberikan pada air harus ditentukan dengan ujicoba yang tepat (jar test). · Lumpur/tanah → biasanya digunakan lumpur sungai, atau tanah dari pinggir sungai dimana air baku diambil ( sungai sebagai sumber air baku ). · Bentonit sering digunakan dalam pengolahan air yang mengandung warna tinggi dan kekeruhan rendah. · Karbon aktif → selain sebagai adsorben juga bertindak sebagai zat pemberat, jadi pemakaian karbon aktif bubuk mempunyai dua fungsi, yaitu penyerap warna dan sebagai pemberat. (3) Zat penyerap (Adsorben) → zat ini digunakan untuk menyerap warna (proses adsorpsi), sebelum air diolah dengan cara koagulasi – flokulasi. Penyerapan menggunakan karbon aktif adalah efektif untuk menghilangkan zat organik yang menyebabkan perubahan warna. Pencemar organik ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan pouros (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil. Karbon aktif tersedia dalam bentuk bubuk dan butiran-butiran kecil. Tapi, karbon aktif bubuk (PAC) lebih mudah digunakan dalam pengolahan air dengan sistem pembubuhan yang sederhana. (4) Pemecahan ikatan rangkap atau reaksi oksidasi → pemecahan ikatan rangkap dari senyawa pembentuk warna alami. Zat yang digunakan adalah klor/senyawa klor atau Ozon (O3). Sebagian besar zat organik yang terdapat dalam berbagai jenis air adalah berupa zat humus. Konsentrasi asam humus dan asam flufik kadang-kadang relatif besar. Zat humus di dalam air menyebabkan warna kuning (warna sejati) yang dikenal dengan “air gambut” yang dapat dipulihkan (dipudarkan) oleh oksidasi sebagian, sebagai contoh menjenuhkan ikatan rangkap dalam suatu molekul, seperti ditunjukkan reaksi : – C = C – + HOCl - CCl – COH – Zat organik ini apabila dilakukan khlorinasi akan menghasilkan hasil samping berupa Trihalometan (THMs), dimana reaksi klor dengan senyawa organik alami (dalam hal ini zat humus) kemungkinan akan menghasilkan pembentukan senyawa THMs (Klorodibromo metan, diklorobromo metan, Kloroform dan Bromoform). Klor terlarut/Hipoklorit dapat bereaksi dengan zat organik (karbon organik, C – org.) dalam air yang didesinfeksi dengan klor, sehingga menjadi senyawa organik terkhlorinasi, seperti THMs, chlorophenoles. Asam humus dan asam flufik (senyawa pembentuk warna alami) mengandung “grup Keto” yang dapat menyebabkan terbentuknya “haloform” setelah bereaksi dengan klor/senyawa klor, seperti terlihat pada reaksi berikut ini : Dengan cara ini senyawa haloform seperti kloroform (CHCl3) ; monobromodiklorometan (CHCl2Br) ; dibromomonoklorometan (CHClBr2) dan bromoform (CHBr3) dengan kondisi tertentu dapat terbentuk, sebagai produk samping klorinasi yang dikenal dengan “ “THMs (trihalomethanes)“, dimana senyawa ini dikatagorikan “karsinogenik” (penyebab kanker). Oleh karena itu reaksi haloform tidak diinginkan terjadi. Pembentukan haloform dipengaruhi oleh : · Konsentrasi zat-zat organik → konsentrasi yang tinggi menaikkan kandungan haloform. · pH → pH lebih tinggi, reaksi haloform lebih baik. · Dosis klor → lebih tinggi menyebabkan kemungkinan haloform terbentuk lebih besar. Dibawah ini akan diterangkan hasil dari penelitian yang menggambarkan hubungan antara pH pada proses penghilangan warna dengan potensial pembentukan THMs melalui analisis terhadap parameter “khloroform” (CHCl3) dengan menggunakan alat “Gas Chromatograph” (GC – ECD). semakin tinggi warna dan pH air, maka semakin tinggi THMsFP) air tersebut. Potensial pembentukan Khloroform pada pH = 9 menunjukkan 3 x lebih besar dibandingkan dengan pembentukkan pada pH = 5. Dengan adanya hasil uji ini, maka pada proses penghilangan warna alami perlu diperhatikan proses desinfeksi dengan menggunakan desinfektan klor/senyawa klor dalam hal : · Dosis klor/senyawa klor → harus dipantau dengan seksama · pH pada proses desinfeksi → tidak boleh terlalu besar · Jika mungkin gunakan desinfektan lain selain klor/senyawa klor, seperti Ozon (O3). Dari penelitian dan percobaan yang telah dilakukan di laboratorium dalam pengolahan air gambut yang diperoleh dari Kec. Gambut dan Kab. Hulu Sungai Selatan, Jambi yang mana kualitas air gambut mempunyai karakteristik yang ekstrim yaitu derajat keasaman pH berkisar antara 3,7 – 4,3, warna cokelat tua dengan skala warna PtCO antara 124 – 571, kandungan zat organik tinggi dengan nilai KMnO4 antara 38-280 mg/l, serta kadar logam lerlarut Fe antara 0,45-5,96 mg/l, kadar Al dari tidak terdeteksi (tt) sampai 0,40 mg/l dan Zn antara 0,31- 0,36 mg/l. Dari hasil penelitian tersebut maka air gambut tersebut dapat diolah menjadi air minum melalui netralisasi awal dengan kapur 4 – 42 mg/l CaO, koagulasi “berlebihan” dengan tawas 100 – 320 mg/l, serta netralisasi akhir dengan kapur 60 – 310 mg/l CaO. Dosis kapur dan tawas tersebut sangat bervariasi tergantung pada pH dan warna air gambut. Namun Proses ini hanya dapat dilakukan pada air gambut yang mempunyai warna maksimum 130 PtCo unit dan kadar zat organik (nilai KMnO4) 60 mg/l. Apabila warna dan kadar zat organik melebihi nilai-nilai tersebut dapat diolah menjadi air minum yang memenuhi syarat apabila ditambah juga dengan karbon aktif 10 mg/l. Akan tetapi apabila kadar warna melebihi 200 PtCo unit dan zat organik (nilai KMnO4) melebihi 80 mg/l. maka proses pengolahan tersebut tidak ekonomis karena banyak memerlukan bahan kimia.1 Sampai saat ini warna dalam air dari limbah tekstil masih merupakan masalah yang belum terpecahkan sampai tuntas. Berbagai pengolahan cara konvensional yang diterapkan belum memberikan hasil yang diharapkan dalam proses penghilangan warna. Metoda koagulasi kimia dan flokulasi yang telah banyak digunakan umumnya berhasil menghilangkan warna air dari limbah sampai di atas 80%, kecuali untuk jenis golongan zat warna tertentu seperti zat warna basa, sebagian zat warna asam, sebagian zat warna reaktif dan lain-lain.3 Metoda biologi konvensioanal umumnya tidak berhasil menghilangkan zat warna dalam air dari limbah industri. Banyak metoda lain yang dilaporkan berhasil menghilangkan warna. Hanya saja perlu diperhatikan bagi metoda yang menggunakan sifat penguraian zat warna untuk mengamati produk akhir yang terjadi dan sifat toksisitasnya dibandingkan dengan zat warna itu sendiri. enggunaan metoda oksidasi/reduksi dapat diterapkan dimana oksidator/reduktor akan pemecahan gugus kromofor zat warna. Keuntungan digunakannya system oksidasi/reduksi ini adalah tidak terbentuknya sludge yang menumpuk pada akhir pengolahan, walaupun penggunaan metoda ini masih memerlukan pertimbangan dari segi ekonomi. Dengan metode elektrokoagulan asam humat dapat dihilangkan 78 – 98%.16 Percobaan yang dilakukan di Orangeburg, South Carolina dengan metode pertukaran ion menggunakan resin MIEXR dapat menghilangkan warna sejati air (asam humat dan fulfat) dari 109 PtCO menjadi 1 PtCO.12 Dengan reaksi sebagai berikut : Dalam proses degradasi lignoselulosa (senyawa lignin), jamur busuk cokelat menghasilkan sejumlah besar asam oksalat (COOH)2. Hal ini menyebabkan turunnya pH lingkungan yang cukup drastis, yang selanjutnya menyebabkan hidrolisis selulosa secara nonenzimatik. Kelompok peroksidase (lignin peroksidase [LiP] dan manganese peroksidase [MnP]) yang menggunakan H2O2 dan lakase (polifenol oksidase) yang menggunakan molekul oksigen berperan dalam degradasi lignin.11 KESIMPULAN Warna didalam air terbagi menjadi dua ( yaitu : Warna semu (Apparent color), adalah warna yang disebabkan oleh partikel partikel penyebab kekeruhan (tanah, pasir dll.), partikel/dispersi halus besi dan mangan, partikel-partikel mikroorganisme (ganggang /lumut), warna yang berasal dari pemakaian zat warna oleh industri (tekstil, pabrik kertas, dll.), seperti bahan pencelup, cat, pewarna makanan dll. Warna sejati (true color) adalah warna yang yang berasal dari penguraian zat organik alami yaitu zat humus (asam humat dan asam fulfat), lignin, tanin, dan asam organik lainnya. Penghilangan warna secara teknik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah : Koagulasi – Flokulasi – Sedimentasi, Filtrasi, Oksidasi – Reduksi, Bioremoval, Terapan elektro, Teknologi Adsorpsi – Absorpsi dsb. Dengan metode elektrokoagulan asam humat dapat dihilangkan 78 – 98%. Dengan metode pertukaran ion menggunakan resin MIEXR dapat menghilangkan warna sejati air (asam humat dan fulfat) dari 109 PtCo menjadi 1 PtCo. Cara pengolahan air secara konvensional/pengolahan lengkap (koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, netralisasi dan desinfeksi) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama pembentuk warna semu sekitar 80% walaupun kadang dengan dosis yang berlebih, effisiensi penghilangan warna akan lebih optimal jika dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon aktif, senyawa redoks, koagulan-flokulan aid, dsb. DAFTAR PUTAKA 1. ………,“Instalasi pengolahan air gambut untuk penyediaan air bersih; Kebutuhan Air Bersih Di Daerah Rawa dan Pasang Surut”. 2. ………, “Paket terapan produksi bersih pada industri tekstil”, Forlink 3. …………., ”Kajian Produksi Bersih di Sebuah Pabrik Pencelupan Tekstil yang melayani Pabrik-pabrik Tenun”. 4. …………., ”Color Measurement, in the textile Industry”, Jerman : Bayer. 5. Arifin, 2006 ; ”Tinjauan dan Evaluasi Proses Kimia (Koagulasi, Netralisasi, Desinfeksi) di IPA Cikokol, Tangerang”, Tangerang : PT. Tirta Kencana Cahaya Mandiri. 6. Al. Slamet Ryadi; 1981: ”Ecologi.Ilmu Lingkungan, dasar – dasar dan pengertiannya1”, Surabaya : Apeka Press. 7. Alaerts,G. Dr. Ir; Santika Sumestri, Sri ; 1987: “ Metode Penelitian Air “; Surabaya: Usaha Nasional 8. Alimin, Narsito, Sri Juari Santosa, dan Sri Noegrohati ; ”Fraksinasi Asam Humat Dan Pengaruhnya Pada Kelarutan Ion Logam Seng (II) Dan Kadmium (II)”. Pada Jurnal ILMU DASAR Vol. 6 No. 1, 2005 : 1-6. 9. Cooper, Randall L, 1986 : “Color Removal Using Alum and Cationic Polymers” Pennsylvania state university park dept of civil engineering. 10. Capasso, S; Colella, C; Coppola, E; Iovino, P; Salvestrini, S , 2007 ; “Removal of Humic Substances From Water By Means of Calcium-Ion- Enriched Natural Zeolites”. 11. Erman Munir, 2006 ; ”Pemanfaatan mikroba dalam bioremidiasi : suatu teknologi alternatif untuk pelestarian lingkungan”. Medan : Universitas Sumatra Utara. 12. Elizabeth Pyles and Forrest Vaughan (Orica Watercare), Baker Whisnant, et al. “Disinfection By-Products (DBP) Compliance through Pre-treatment for TOC Removal” . 13. Eaton, Andrew, et al. 2005. “Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 21st Edition.” American Public Health Association. Marryland USA. 14. F.W Billmeyer. Jr, M. Saltzman, 1981 ; ”Principles of Color Technologi, edisi kedua”, New York : Wiley. 15. Fitri Astuti, 2004; “Pengolahan limbah cair industri batik dengan koagulan dan penyaringan (Studi kasus di CV. Batik Indah Rara Djonggrang)”, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada 16. F.Manea, C.Radovan, A.Chiriac, I.Vlaicu, “Some aspect regarding the separation of organic and suspended matters from water by elektroflotocoagulation”, Timisoara, Romania. 17. Fessenden, Ralp J; Fessenden, Joan, S ; 1994; “ Kimia Organik ”, Edisi III, Jilid 2; Jakarta : Erlangga 18. Herbert Mpagi Kalibbala, 2007; “Application of Indigenous material in drinking water treatment”, Kampala- Uganda : Royal Institute of Technology. 19. H.G. Sanjay, M. Tiedje, J.J. Stashick, dkk, “Development of HUMASORB TM, A Lignite Derived Humic Acid for Removal of Metals and Organic Contaminants from Groundwater”. Chantilly, VA : ARCTECH, Inc. 20. Ismangil dan Eko Hanudin ; ”Degradasi mineral batuan oleh asam – asam organik”. Pada Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (1) (2005) p: 1-17. 21. Merit Kindsigoa, Juha Kallasb, 2006 ; “Degradation of lignins by wet oxidation: model water solutions”, Jakobi 2, 51014 Tartu, Estonia : Institute of Physical Chemistry, University of Tartu pada Proc. Estonian Acad. Sci. Chem., 2006, 55, 3, 132–144. 22. Muhammad Noor, Azwar Maas, Tejoyuwono Notohadikusomo “ Kajian sifat kimia air lindian dari pembasahan dan pengeringan tanah sulfat masam Kalimantan”, pada Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 5 (2) (2005) p: 55-62. 23. Nn. Isminingsih, S.teks. Msc, Ir. Rasyid Djufri, Msc, 1978/1979. “Pengantar Kimia Zat Warna”, Bandung : Institut Teknologi Tekstil. 24. Prof. Ann. E. Hagerman, “Tannin Chemistry”, Oxford – USA : Dept. of Chemistry an Biochemistry, Miami University. 25. PERPAMSI, FORKAMI. 2002 ; “Peraturan Teknis Instalasi Pengolahan Air Minum”, Jakarta : Tirta Dharma 26. Suherman, 2006; ”Pengolahan Air Kali Tengah (Berasal Dari Limbah Cair Industri) Secara Kombinasi Kitosan – Alum Dengan Tumbuhan Air”, Surabaya: Universitas Airlangga. 27. Saepudin Suwarsa, 1998; “Penyerapan Zat Warna Tekstil BR Red HE 7B Oleh Jerami Padi” Bandung : Institut Teknologi Bandung pada JMS Vol. 3 No. 1, hal. 32 – 40, April 1998 32. 28. Tejoyuwono Notohadiprawiro, 1988 ;”Pencirian gambut di Indonesia untuk inventarisasi”. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 29. Tom Fryters, “Tri halo methanes & their treatment/preventif”, Hyder – Tech Limited. http://www.Shantybio.Transdigit.com. http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5604&Itemid=71 http://www.ckpp.or.id/lahan/geologi.html http://www.gewater.com/handbook/wastewater_gas_cleaning_systems/ch_37_treatment.jsp http://www.skepticalaquarist.com http://stinet.dtic.mil/oai/oai?verb=getRecord&metadataPrefix=html&identifier=ADA176298 http://id.wikipedia.org/wiki/ Oleh :http://teknikmesinagus-1moed.blogspot.com/* * S1, Semester 6, F.Teknik/ Teknik Kimia UNIS Tangerang.(www.unistangerang.ac.id *Analis kimia PT. Tirta Kencana Cahaya Mandiri, Tangerang.(www.tkcmindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar